Translate

Rabu, November 30, 2011

Perempuan dan Kekerasan by sampriste

by : sampristi
a. Teori Sub Budaya .

Asumsi yang dikemukan Wolfgang ini berlaku pada perilaku kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Umumnya bentuk kekerasan yang ditawarkan Wolfgang ini terjadi pada masyarakat (didasarkan pada struktur dan pola hubungan sosial ekonomi) yang menampilkan ciri dominasi dan ketidakadilan melalui proses sosial yang kompleks, sehingga menimbulkan sikap dan prilaku yang mendukung pada kekerasan. Pada masyarakat berbudaya tertentu ,kekerasan terhadap perempuan secara umum disebabkan oleh
kecenderungan prilaku yang muncul dalam budaya masyarakat tersebut yang masih menganggap perempuan sebagai “koncowingking”. Perempuan harus dalam posisi “nrimo” dalam bentuk sikap dan prilaku pasrah yang diterimanya sebagai bentuk pengabdiannya, termasuk pasrah jika terjadi kekerasan terhadapnya.

b. Teori Kontrol Sosial

Teori ini pada asasnya menjelaskan bahwa moralitas dan nilainilai susila merupakan varianel yang tersebar tidak merata diantara manusia berkaitan dengan pergaulan hidup maka akan terdapat empat unsur pengikat yang akan dikembangkan lebih lanjut:
1) Attachment atau ikatan
Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, orang memiliki hubungan terikat dengan lingkungan sekitar dapat menimbulkan sinergi saling mendukung satu sama lain.Kuatnya kontrol lingkungan akan membatasi keinginan melakukan perbuatan menyimpang/tindak kekerasan terhadap perempuan.
2) Commitment atau keterikatan dalam subsistem konvensional.
Asumsi yang dikemukakan pada kemampuan seseorang untuk selalu berusaha melakukan aksi/tindakan yang terbaik. Hal ini berkaitan dengan kesadaran untuk mempertimbangkan untung dan rugi dari perilaku
konfirmitis. Kejahatan kekerasan yang ditimbulkan berkaitan dengan rendahnya subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisai yang kurang optimal.
 Asumsinya adalah seseorang dengan sendirinya akan memperoleh hadiah/award, uang, pengakuan bahkan status sosial bila semua subsistem konvensional berfungsi dengan baik. Dengan demikian peluang untuk melakukan kekerasan semakin kecil karena tingginya penghargaan terhadap dirinya sendiri yang
diwujudkan dari subsistem konvensional.
3) Involvement atau berfungsi aktif dalam subsistem konvensional
Semakin senggang/luang waktu yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi kecenderungannya untuk menimbulkan perilaku menyimpang/kekerasan. Reaksi positif lebih sering muncul pada perilaku seseorang yang menjaga diri dengan kualitas dan prestasi terbaik bagi dirinya. Produk yang unggul selalu mendapat tempat dimasyarakatnya dengan kedudukan dan penghargaan sesuai dengan tingkat keunggulannya. Hal
ini disebabkan tingginya penghargaan terhadap peluang waktu senggang yang semakin pendek sehinnga seseorng menyadari betapa pentingnya pemanfaatan waktu secaraoptimal. Dengan demikian kemungkinan untuk melakukan perbuatan menyimpang/kekerasan semakin rendah frekuensinya.
4) Beliefs atau percaya pada nilai-nilai moral
dari norma-normadan nilai-nilai pergaulan hidup. Perilaku menyimpang/kekerasan terhadap perempuan tidak akan terjadi jika seseorang dibentengi oleh nilai-nilai ritual, ibadah, nilai-nilai kepercayaan, dan norma yang mengikat bagi dirinya. Kepercayaan dan keyakinan yang kuat selanjutnya dapat di pompa kedalam perilaku yang tertata baik oleh nilai moral dan agama. Kecenderungan untuk melakukan kekerasan semakin kecil akibat tingginya keyakinan dan kuatnya kesadaran yang diyakini seseorang unuk dapat melakukan perbuatan yang menyimpang.
Berdasarkan asumsi diatas penulis setuju dengan teori kontrol sosial yang dikemukakan oleh Travis Hirschi ini. Asumsi Yang ditawarkan relevan dan argumentatif untuk mengurangi munculnya bentuk-bentuk perilaku kejahatan terhadap perempuan

Senin, November 21, 2011

Peranan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Peran dapat diartikan sebagai seperangkat tingkat yang diterapkan dimiliki oleh orang atau lembaga yang berkedudukan dalam masyarakat (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) .
Dalam kapasitasnya sebagai Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak, JPPA memiliki status artinya kedudukan JPPA menyebabkan adanya
hak-hak dan kewajiban. Hak merupakan wewenang untuk berbuat sedangkan kewajiban merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Kedudukan merupakan posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan yang terbagi menjadi 3 tingkatan:
1. Yang mungkin tinggi
2. sedang-sedang saja, dan
3. rendah (Dari kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang berisi hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu, yang menimbulkan adanya peranan).
Peranan itu sendiri dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Peranan yang ideal (ideal role)
2. Peranan yang seharusnya (expected role)
3. Peranan yang dianggap ole diri sendiri (perceived role)
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)
Bahwa peranan yang ideal dan seharusnya datang dari pihak-pihak lain, kedua peranan tersebut dapat berfungsi apabila seseorang berhubungan dengan pihak lain (role sector) dengan fokus utamanya adalah dinamika masyarakat. Sedangkan peranan yang sebenarnya berasal dari diri pribadi.
Penggunaan perspektif peranan mempunyai keuntungan diantaranya, lebih mudah membuat suatu proyeksi, karena pemusatan perhatian pada segi prosesual, serta lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya daripada kedudukan dengan lambang-lambang yang cenderung bersifat konsumtif.
Disini personel JPPA sebagai pemegang peranan (role occupant) melakukan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.. menggunakan peranan ideal dan peranan yang seharusnya.
Peranan ideal tercantum dalam Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor: B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender). Dimana secara tegas diharapkan bahwa dalam rangka melaksanakan Pengarus Utamaan Gender (PUG) perlu dilakukan berbagai upaya.
 tugas pokok JPPA yaitu:
1. Melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang berhubungan dengan upaya perlindungan perempuan dan anak
2. Merumuskan kegiatan JPPA
3. Melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan

Sabtu, November 12, 2011

DISIPLIN PNS BERDASARKAN UU NO. 43 TAHUN 1999

by sampriste
Pengawasan aparatur negara menuju kepada administrasi yang sempurna sangat tergantung pada kualitas dan profesionalisme pegawai negeri itu sendiri. Undang – Undang No. 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian memberikan jaminan kedudukan serta kepastian hukum bagi pegawai negeri untuk mengatur dan menyusun aparatur yang bersih dan berwibawa, (bebas KKN)..
Pembinaan dan penyempurnaan serta pendayagunaan aparatur pemerintahan, baik kelembagaan maupun ketatalaksanaan dari segi kepegawaian perlu terus ditingkatkan untuk mewujudkan pembangunan secara menyeluruh.
Hal tersebut juga telah digariskan dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Bab IV mengenai bidang Aparatur Negara disebutkan antara lain, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan pada peningkatan kualitas, efisien dan efektif dalam seluruh jajaran administrasi pemerintahan, termasuk peningkatan kedisiplinan pegawai negeri.
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara dalam menjalankan roda pemerintahan dituntut untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat harus bisa menjunjung tinggi martabat dan citra kepegawaian demi kepentingan masyarakat dan negara.
Tetapi dalam kenyataan dilapangan masih banyak ditemukan pegawai negeri yang kurang tahu dan kurang menyadari akan tugas dan fungsinya sehingga seringkali timbul ketimpangan – ketimpangan  dalam menjalankan tugasnya dan tidak jarang membuat kecewa masyarakat.
Dengan adanya berbagai macam pelanggaran dan kedisiplinan pegawai tersebut, bagaimana pelaksanaan PP No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil .
Dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999  di Instansi - instansi pemerintahan maka  :
Pelaksanaan UU No.43 Tahun 1999 kaitannya dengan kedidiplinan Pegawai Negeri Sipil  merupakan masalah yang perlu di teliti serta  hambatan–hambatan yang timbul dalam meningkatkan kedidiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kejaksaan Negeri Semarang dan bagaimana cara mengatasinya.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dapat diketahui bahwa pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999 di lingkungan instansi pemerintahan adalah dalam pelaksanaannya yang merupakan tindak lanjut dari UU No.43 Tahun 1999 .
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka pelaksanaan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan (instansi) pemerintahan, dilakukan dengan cara atau sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku yaitu lewat pengawasan melekat ( Waskat ).
Pengawasan melekat dilakukan agar tujuan dan sasaran kegiatan administrasi kepegawaian tercapai sebagaimana telah digariskan dalam Undang – Undang, dengan pengawasan melekat ini dapat pula mempengaruhi tingkat kedisiplinan atau kegiatan bekerja para Pegawai Negeri Sipil. Adapun hambatan – hambatan yang ada dalam pelaksanaan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan (instansi) pemerintahan antara lain kurangnya sarana dan prasarana dalam pelaksanaan tugas, kurangnya pemahaman mengenai peraturan disiplin pegawai negeri serta kurangnya sanksi yang tegas dalam setiap pelanggaran.
Bagaimana komentar anda :.....

Kamis, November 10, 2011

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

JPPA adalah singkatan dari Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak. JPPA merupakan wahana paritipatif, tempat tempat berhimpunnya mereka yang peduli dan para pemerhati permasalahan perempuan dan anak. Yang pengurusnya terdiri dari berbagai elemen baik pemerintah, Perguruan
Tinggi, Organisasi Wanita, LSM, maupun individu untuk bersama-sama mengkaji menganalisa permasalahan perempuan dan anak demi menegakkan panji-panji keadilan.
Terbentuknya JPPA  berdasarkan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan republik Indonesia Nomor: B.110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender). Dimana secara tegas diharapkan bahwa dalam rangka melaksanakan PengarusUtamaan Gender (PUG) perlu dilakukan berbagai upaya.

Tugas Pokok JPPA
Dalam menghadapi tantangan dan peluang jangka panjang yang jauh ke depan,
 visi program pembangunan pemberdayaan perempuan dirumuskan sebagai berikut:
Terwujudnya kesetaraan gender (dan perlindungan anak) dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Sedangkan visi Kelembagaan Pemberdayan Perempuan adalah:
Kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
Nomor B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, tugas yang
harus dilakukan sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas hidup perempuan dan menggalakkan sosialisasi
kesetaraan dan keadilan gender.
2. Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan
menegakkan hak asasi manusia bagi perempuan.
3. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak.
4. Pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi.
5. Meningkatkan mental spiritual, pelaku hidup dengan dasar penghyatan dan
pengamalan Pancasila.
6. Meningkatkan kepedulian, kesadaran dan kepekaan masyarakat terhadap
Perlindungan Perempuan dan Anak, melalui pelayanan dan penyuluhan
hukum untuk memantapkan sistem perlindungan hukum bagi masyarakat
khususnya Perempuan dan Anak.
7. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya
Perempuan dan Anak dengan berbagai kegiatan pelatihan, penyuluhan dan
ketrampilan.
8. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pendataan masalah yang dihadapi
dan potensi yang dimiliki Perempuan dan Anak, mengoptimalkan potensi
dan pemberdayaan Perempuan dan Anak Untuk mengatasi masalah
Perempuan dan Anak.

Kamis, November 03, 2011

by : sampristi 

Tugas-tugas Satuan Polisi Pamong Praja adalah membantu Kepala Daerah dalam:
  1. Menegakkan Peraturan Daerah.
  2. penyelenggaraan ketertiban umum.
  3. penyelenggaraan ketentraman masyarakat.
Pengertian ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sangat luas, substansinya tidak hanya dan tidak harus ada di dalam Peraturan Daerah tetapi juga ada di dalam Peraturan Perundang-undangan yang ada ditingkat yang lebih tinggi serta di berbagai bidang, dan itu juga menjadi tugas Kepala Daerah untuk menerapkan dan menegakkan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Cara pandang selama ini terhadap Razia gelandangan, pengemis dan anak jalanan memang perlu dirubah. Razia jangan selalu dikaitkan dengan penegakan ketentuan pidana di dalam Peraturan Daerah tetapi sebagai suatu tugas membantu Kepala Daerah menerapkan Peraturan Perundang-undangan dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, yang salah satunya adalah dengan mewujudkan kesejahteraan sosial melalui penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
Jadi sah-sah saja Satpol PP melakukan razia karena sebetulnya payung hukum sudah lengkap, sudah cukup. Pemerintah Daerah tidak perlu memaksakan diri untuk mengarahkannya kepada pelanggaran ketentuan pidana di dalam sebuah Peraturan Daerah sehingga harus mengangkat penyidik pegawai negeri sipil dan menciptakan kewenangan untuk penyidikan.
Harus diingat bahwa tidak semua pelanggaran Peraturan Daerah dapat disidik oleh penyidik pegawai negri sipil karena tidak semua pelanggaran Peraturan Daerah langsung mengarah kepada ketentuan pidana melainkan merupakan pelanggaran administratif saja.  Untuk menyelesaikan pelanggaran administratif tidak membutuhkan penyidik pegawai negri sipil dan hanya memerlukan petugas atau pegawai biasa. Setiap orang sebenarnya boleh menangkap seseorang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana dan menyerahkannya kepada polisi, jika demikian apalagi terhadap Satpol PP yang jelas diberi tugas oleh Undang-undang untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Penegakan ketentuan pidana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis merupakan ultimum remidium dan baru diterapkan setelah dilakukan tahapan seleksi yang merupakan tindak lanjut dari razia.  Penegakan ketentuan pidana ini sebaiknya berkoordinasi dengan polisi, dengan begitu kita mencoba mendudukkan kembali suatu perkara pada porsinya masing-masing. Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa porsi penyidikan tindak pidana diletakkan dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengkaitkan tugas razia dengan ketentuan pidana dan kewenangan penyidikan akan mempersulit Satpol PP sendiri. Polisi sebagai penegak hukum harus mau melaksanakan tugasnya dan dengan jujur mau mengakui bahwa masalah gelandangan dan pengemis merupakan tanggung jawabnya juga.
Berangkat dari kewenangan-kewenangan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Satpol PP tidak memerlukan Peraturan Daerah baru untuk melakukan razia terhadap Gelandangan dan Pengemis.  Yang harus kita pastikan adalah setelah razia dilakukan memang ada suatu upaya yang terpadu dan berkesinambungan untuk mengentaskan kemiskinan sebagai kewajiban Pemerintah Daerah dalam memenuhi hak asasi manusia di wilayahnya.  Karena itu sebelum razia besar-besaran dilaksanakan maka segala sarana dan prasarana, koordinasi, penguatan lembaga perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar upaya yang dimaksudkan untuk memenuhi hak asasi manusia tersebut menjadi sia-sia dan menimbulkan masalah baru.
Upaya paksa memang pasti akan terjadi, kejar-kejaran dengan aparat, dan sedikit kekerasan pasti akan terjadi. Hal tersebut tidak bisa dihindari dan harus dimaklumi, tetapi tentu ada batas-batas agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.  Tugas kita semua untuk ikut mengawasi agar tidak terjadi suatu tindakan berlebihan yang akan dilakukan oleh aparat.

SwissOutpost.com