Translate

Jumat, Desember 30, 2011

Ciri Pedofila by sampristi

Pelecehan seksual pada anak dapat mencakup kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban. Termasuk di dalamnya kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak.
            Banyaknya kasus pelecehan seksual pada anak tidak lepas dari fenomena fedofilia. Walaupun tidak semua pelecehan seksual pada anak dilakukan oleh penderita fedofilia, tetapi akan banyak manfaatnya bila kita mengetahui ciri-ciri seorang fedofil. Fedofilia memiliki pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual dimana orang dewasa memperoleh kepuasan seksual bersama seorang anak pra remaja. Ciri utamanya adalah bahwa berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual cara yang paling sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual. Empat karakteristik utama yang dimiliki oleh seorang      pedofil :
a)      Pola perilaku jangka panjang dan persisten.
1)      Memiliki latar belakang pelecehan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pelaku kekerasan seksual merupakan korban dari kekerasan seksual berikutnya.
2)      Memiliki kontak sosial terbatas pada masa remaja. Pada waktu remaja, pelaku biasanya menunjukkan ketertarikan seksual yang kurang terhadap seseorang yang seumur dengan mereka.
3)      Riwayat pernah dikeluarkan dari militer. Militer dan organisasi lainnya akan mengeluarkan pedofil dan akan membuat dakwaan dan tuntutan terhadap mereka.
4)      Sering berpindah tempat tinggal. Pedofil menunjukkan suatu pola hidup dengan tinggal di satu tempat selama beberapa tahun, mempunyai pekerjaan yang baik dan tiba-tiba pindah dan berganti pekerjaan tanpa alasan yang jelas.
5)      Riwayat pernah ditahan polisi sebelumnya. Catatan penahanan terdahulu merupakan indikator bahwa pelaku ditahan polisi karena perbuatan yang berulang-ulang, yaitu pelecehan seksual terhadap anak-anak.
6)      Korban banyak. Jika penyidikan mengungkap bahwa seseorang melakukan pelecehan seksual pada korban yang berlainan, ini merupakan indikator kuat bahwa ia adalah pedofil.
7)      Percobaan berulang dan beresiko tinggi. Usaha atau percobaan yang berulang untuk mendapatkan anak sebagai korban dengan cara yang sangat trampil merupakan indikator kuat bahwa pelaku adalah seorang pedofil.
b)      Menjadikan anak-anak sebagai obyek preferensi seksual
1)      Usia > 25 tahun, single, tidak pernah menikah. Pedofil mempunyai preferensi seksual terhadap anak-anak, mereka mempunyai kesulitan dalam berhubungan seksual dengan orang dewasa dan oleh karena itu mereka tidak menikah.
2)      Tinggal sendiri atau bersama orang tua. Indikator ini berhubungan erat dengan indikator di atas.
3)      Bila tidak menikah, jarang berkencan. Seorang laki-laki yang tinggal sendiri, belum pernah menikah dan jarang berkencan , maka harus dicurigai sekiranya dia memiliki karakteristik yang disebutkan di sini.
4)      Bila menikah, mempunyai hubungan khusus dengan pasangan. Pedofil kadang-kadang menikah untuk kenyamanan dirinya atau untuk menutupi dan juga memperoleh akses terhadap anak-anak.
5)      Minat yang berlebih pada anak-anak. Indikator ini tidak membuktikan bahwa seseorang adalah seorang pedofil, tapi menjadi alasan untuk diwaspadai. Akan menjadi lebih signifikan apabila minat yang berlebih ini dikombinasikan dengan indikator-indikator lain.
6)      Memiliki teman-teman yang berusia muda. Pedofil sering bersosialisasi dengan anak-anak dan terlibat dengan aktifitas-aktifitas golongan remaja.
7)      Memiliki hubungan yang terbatas dengan teman sebaya. Seorang pedofil mempunyai sedikit teman dekat dikalangan dewasa. Jika seseorang yang dicurigai sebagai pedofil mempunyai teman dekat, maka ada kemungkinan temannya itu adalah juga seorang pedofil.
8)      Preferensi umur dan gender. Pedofil menyukai anak pada usia dan gender tertentu. Ada pedofil yang menyukai anak lelaki berusia 8-10 tahun , ada juga yang menyukai anak lelaki 6-12 tahun. Semakin tua preferensi umur, semakin eksklusif preferensi umur.
9)      Menganggap anak bersih, murni, tidak berdosa dan sebagai obyek.Pedofil kadang memiliki pandangan idealis mengenai anak-anak yang diekspresikan melalui tulisan dan bahasa, mereka menganggap anak-anak sebagai obyek, subyek dan hak milik mereka.
c)      Memiliki teknik yang berkembang dengan baik dalam mendapatkan korban
1)      Trampil dalam mengidentifikasikan korban yang rapuh. Pedofil memilih korban mereka, kebanyakan anak-anak korban broken home atau korban dari penelantaran emosi atau fisik. Ketrampilan ini berkembang dengan latihan dan pengalaman.
2)      Berhubungan baik dengan anak, tahu cara mendengarkan anak. Pedofil biasanya mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan anak-anak lebih baik daripada orang dewasa lainnya. Mereka juga tahu cara mendengarkan anak dengan baik.
3)      Mempunyai akses ke anak-anak. Ini merupakan indikator terpenting bagi pedofil. Pedofil mempunyai metode tersendiri untuk memperoleh akses ke anak-anak. Pedofil akan berada di tempat anak-anak bermain, menikah atau berteman dengan wanita yang memiliki akses ke anak-anak, memilih pekerjaan yang memiliki akses ke anak-anak atau tempat dimana dia akhirnya dapat berhubungan khusus dengan anak-anak.
4)      Lebih sering beraktifitas dengan anak-anak, seringkali tidak melibatkan orang dewasa lain. Pedofil selalu mencoba untuk mendapatkan anak-anak dalam situasi dimana tanpa kehadiran orang lain.
5)      Trampil dalam memanipulasi anak. Pedofil menguunakan cara merayu, kompetisi, tekanan teman sebaya, psikologi anak dan kelompok, teknik motivasi dan ancaman.
6)      Merayu dengan perhatian, kasih sayang dan hadiah. Pedofil merayu anak-anak dengan berteman, berbicara, mendengarkan, memberi perhatian, menghabiskan waktu dengan anak-anak dan membeli hadiah.
7)      Memiliki hobi dan ketertarikan yang disukai anak. Pedofil mengkoleksi mainan, boneka atau menjadi badut atau ahli sulap untuk menarik perhatian anak-anak.
8)      Memperlihatkan materi-materi seksual secara eksplisit kepada anak-anak. Pedofil cenderung untuk mendukung atau membenarkan anak untuk menelepon ke pelayanan pornografi atau menghantar materi seksual yang eksplisit melalui komputer pada anak-anak.
d)     Fantasi seksual yang difokuskan pada anak-anak
1)      Dekorasi rumah yang berorientasi remaja. Pedofilia yang tertarik pada remaja akan mendekorasi rumah mereka seperti seorang remaja lelaki. Ini termasuk pernak-pernik seperti mainan, stereo, poster penyanyi rock, dll.
2)      Memfoto anak-anak. Pedofil memfoto anak-anak yang berpakaian lenkap, setelah selesai dicetak, mereka menghayalkan melakukan hubungan seks dengan mereka.
3)      Mengoleksi pornografi anak atau erotika anak. Pedofilia menggunakan koleksi ini untuk mengancam korban agar tetap menjaga rahasia aktivitas seksual mereka, koleksi ini juga digunakan untuk ditukar dengan koleksi pedofilia yang lain.     
            Kewaspadaan masyarakat akan adanya bahaya pedofilia perlu ditingkatkan. Masing-masing keluarga juga harus meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak mereka agar tidak menjadi mangsa penderita pedofilia. Orang-orang terdekat dengan keluarga juga harus diwaspadai karena pelaku pedofilia adalah orang yang telah dikenal baik seperti saudara, tetangga, guru, dll. Bila anak-anak mengalami perubahan perilaku, hendaknya orangtua peka dan dapat berkomunikasi dengan anak sehingga diperoleh pemecahan masalah yang dihadapi anak




Rabu, Desember 21, 2011

Tindak Pidana Phedofilia

Secara harfiah phedofilia berasal dari bahasa yunani yaitu paidohilia yang artinya adalah kondisi yang mempunyai ketertarikan atau hasrat seksual terhadap anak-anak yang belum memasuki remaja, istilah ini sering ditujukan kepada orang-orang dewasa yang memiliki kondisi ini. Dalam bidang kesehatan pedofilia diartikan sebagai kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak dibawah umur, orang dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun, sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas).
            Pedofilia masih sering dikacaukan pengertiannya, ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk mengkategorikan tindak pelecehan seksual  terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Bentuk manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam kasus pedofilia, penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak yang menjadi korbannya.
            Sebagai bentuk kejahatan, pedofilia memiliki beberapa karakteristik yang khas yang membedakannya dengan kejahatan seksual lannya terhadap anak hal ini diungkapkan oleh Ron O’Grady yaitu
a)      Pedofilia bersifat obsesif, dimana perilaku menyimpang ini menguasai hampir semua aspek kehidupan pelakunya, dari pekerjaan, hobi, bacaan, pakaian, bahkan sampai desain rumah dan perabotannya.
b)      Pedofilia bersifat predatori, dalam arti pelakunya akan berupaya sekuat tenaga dengan beragam upaya dan cara untuk memburu korban yang diinginkannya. Lamanya usaha untuk mendapatkan korban tidak sekedar dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Pelaku bisa melakukan pendekatan pada anak dan orang tuanya selama bertahun-tahun sebelum dia melakukan kejahatannya.
c)      Kemudian kaum pedofilia cenderung menyimpan dokumentasi korbannya dengan rapi, seperti foro, video, catatan, atau rekaman percakapan dengan korban.
            Pedofila sendiri mempunyai beberapa jaringan Internasional dan yang pernah di bongkar seperti Orchid Club tahun 1998 dan Wonderland Club tahun 2001 keduanya berbasis di amerika. Terbukti para pedofilia secara intensif melakukan diskusi dan studi perbandingan hukum perlindungan anak dan penegakannya di berbagai Negara.  
            Di Indonesia kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur sering terjadi, salah satu kasus yang paling menghebohkan adalah kasus Robot Gedek yang terbukti melakukan sodomi terhadap anak-anak di bawah umur. Indonesia menjadi salah satu tempat favorit bagi kaum pedofilia terutama bali karena merupakan tempat pariwisata yang sangat terkenal sehingga banyak kaum pedofilia dari luar yang berdatangan.


Selasa, Desember 20, 2011

Undang - Undang Perkreditan

Pembagunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah Perbankan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana.
Pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.
Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit. 
Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa risiko, karena suatu risiko mungkin saja terjadi. Risiko yang umumnya terjadi adalah risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitor berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga risiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.
Kredit yang diberikan oleh bank tentu saja mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha dari debitur. Apabila unsur-unsur yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta jaminan tambahan. 
Jaminan pokok yang dimaksud dalam pemberian kredit tersebut  adalah jaminan yang berupa sesuatu atau benda yang berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon. Sesuatu yang dimaksud di sini adalah proyek atau prospek usaha yang dibiayai dengan kredit yang dimohon, sementara itu yang dimaksud benda di sini adalah benda yang dibiayai atau dibeli dengan kredit yang dimohon. Jenis tambahan yang dimaksud adalah jaminan yang tidak bersangkutan langsung dengan kredit yang dimohon. Jaminan ini berupa jaminan kebendaan yang objeknya adalah benda milik debitur maupun perorangan, yaitu kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur.


Selasa, Desember 06, 2011

Trafiking in person by sam

Trafiking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk di dengar oleh karena tingkat terjadinya kasus trafiking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia sendiri. Fenomena ini memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Trafiking terhadap manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik, kultural dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafiking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 dengan sebutan Perdagangan Orang sebagai “ the form of modern day slavery”.
 Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia. Praktik trafiking yang seringkali terjadi selama ini adalah perdagangan wanita dan anak-anak yang diperniagakan secara paksa, diculik, disekap, dijerat dengan utang, ditipu, dibujuk atau diiming-imingi dan seterusnya, untuk dijadikan pekerja seks komersial atau dieksploitasi. Hal ini diketahui dari banyak pengalaman yang terungkap dari korban maupun para pelaku tindak pidana trafiking yang terungkap.
Kita mengetahui secara pasti bahwa diri kita adalah bebas dan tidak dapat diperlakukan layaknya barang atau benda yang berada di bawah penguasaan manusia lain yang juga mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan kita. Pada dasarnya trafiking dapat terjadi oleh berbagai faktor yang antara lain kemiskinan.
Tidak hanya itu, ada pula faktor yang sering menjadi penyebabnya yaitu faktor sosial budaya, orang tua menganggap bahwa anak merupakan hak milik yang harus melakukan kehendak orang tua. Tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia, banyaknya pengangguran dan sedikitnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia mengakibatkan banyak rakyat Indonesia yang tertarik dengan iming-iming untuk bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar. Padahal banyak lembaga pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang ada belum jelas asal usulnya. Tetapi karena desakan ekonomi yang sangat tinggi maka terkadang mereka tidak terlalu peduli akan kejelasan dari lembaga ataupun perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut. Padahal banyak perusahaan penyalur tenaga kerja ke luar negeri yang mengirimkan tenaga kerja dari Indonesia bukan untuk bekerja sebagaimana pekerjaan yang layak, tetapi banyak yang ternyata para pekerja yang dikirimkan dijadikan pekerja seks komersial dan bahkan ada yang dieksploitasikan untuk menjadi budak.
. Setiap anak harus dan tidak boleh menentang kemauan dari orang tua, padahal belum tentu semua pemikiran orang tua itu benar. Sebagai contoh di Indonesia telah kita ketahui belakangan ini mengalami bencana alam yang memperburuk keadaan ekonomi suatu keluarga yang di daerah bencana tersebut orang tua yang putus asa banyak menjual anak-anaknya guna memulihkan perekonomiannya..
Masalah lain yang sering timbul dari perdagangan orang khususnya bayi adalah akibat dari pergaulan bebas antar remaja yang semakin marak di Indonesia
Apabila dibayangkan, trafiking merupakan bisnis yang sangat menguntungkan, pedagangnya hanya menggunakan modal yang tidak banyak yang barang dagangannya tersebut seolah-olah hanya di ambil begitu saja layaknya air disungai atau udara yang bebas dihirup yang memang diciptakan Yang Maha Esa untuk dipergunakan. Hanya saja manusia adalah milik dari dirinya masing-masing yang apabila memperdagangkan manusia adalah hal yang tidak berkeprimanusiaan. Dari hal ini dapat diketahui pula bahwa trafiking adalah merupakan industri yang sangat menguntungkan. Dari industri seks saja menghasilkan US $ 1,2 – 3,3 Milyar per tahun untuk di Indonesia saja. . Banyak pemuda pemudi yang melakukan hubungan suami istri di luar nikah yang mengakibatkan terjadinya kehamilan diluar nikah. Terhadap bayi yang lahir tersebut biasanya karena kedua orang tuanya tidak memliki status perkawinan yang jelas dan untuk menghindari aib di masyarakat maka banyak dari orang tua yang memiliki bayi diluar pernikahan menjual bayi tersebut kepada orang lain yang bersedia membeli bayi tersebut. Padahal belum tentu sang pembeli bayi tersebut berniat menjadikan bayi tersebut sebagai anak angkatnya. Trafiking khususnya terhadap wanita dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan, baik terorganisir maupun tidak terorganisir. Kejahatan keji ini bahkan melibatkan tidak hanya orang perorangan tapi juga penyelenggara Negara yang menyalahgunakan wewenang dan/atau kekuasaannya. Jaringan pelaku trafiking ini juga memiliki jangkauan operasi tidak hanya terbatas antarwilayah dalam negeri, namun juga meluas sampai antarnegara.
WOOOOW..............

Rabu, November 30, 2011

Perempuan dan Kekerasan by sampriste

by : sampristi
a. Teori Sub Budaya .

Asumsi yang dikemukan Wolfgang ini berlaku pada perilaku kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Umumnya bentuk kekerasan yang ditawarkan Wolfgang ini terjadi pada masyarakat (didasarkan pada struktur dan pola hubungan sosial ekonomi) yang menampilkan ciri dominasi dan ketidakadilan melalui proses sosial yang kompleks, sehingga menimbulkan sikap dan prilaku yang mendukung pada kekerasan. Pada masyarakat berbudaya tertentu ,kekerasan terhadap perempuan secara umum disebabkan oleh
kecenderungan prilaku yang muncul dalam budaya masyarakat tersebut yang masih menganggap perempuan sebagai “koncowingking”. Perempuan harus dalam posisi “nrimo” dalam bentuk sikap dan prilaku pasrah yang diterimanya sebagai bentuk pengabdiannya, termasuk pasrah jika terjadi kekerasan terhadapnya.

b. Teori Kontrol Sosial

Teori ini pada asasnya menjelaskan bahwa moralitas dan nilainilai susila merupakan varianel yang tersebar tidak merata diantara manusia berkaitan dengan pergaulan hidup maka akan terdapat empat unsur pengikat yang akan dikembangkan lebih lanjut:
1) Attachment atau ikatan
Berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, orang memiliki hubungan terikat dengan lingkungan sekitar dapat menimbulkan sinergi saling mendukung satu sama lain.Kuatnya kontrol lingkungan akan membatasi keinginan melakukan perbuatan menyimpang/tindak kekerasan terhadap perempuan.
2) Commitment atau keterikatan dalam subsistem konvensional.
Asumsi yang dikemukakan pada kemampuan seseorang untuk selalu berusaha melakukan aksi/tindakan yang terbaik. Hal ini berkaitan dengan kesadaran untuk mempertimbangkan untung dan rugi dari perilaku
konfirmitis. Kejahatan kekerasan yang ditimbulkan berkaitan dengan rendahnya subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisai yang kurang optimal.
 Asumsinya adalah seseorang dengan sendirinya akan memperoleh hadiah/award, uang, pengakuan bahkan status sosial bila semua subsistem konvensional berfungsi dengan baik. Dengan demikian peluang untuk melakukan kekerasan semakin kecil karena tingginya penghargaan terhadap dirinya sendiri yang
diwujudkan dari subsistem konvensional.
3) Involvement atau berfungsi aktif dalam subsistem konvensional
Semakin senggang/luang waktu yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi kecenderungannya untuk menimbulkan perilaku menyimpang/kekerasan. Reaksi positif lebih sering muncul pada perilaku seseorang yang menjaga diri dengan kualitas dan prestasi terbaik bagi dirinya. Produk yang unggul selalu mendapat tempat dimasyarakatnya dengan kedudukan dan penghargaan sesuai dengan tingkat keunggulannya. Hal
ini disebabkan tingginya penghargaan terhadap peluang waktu senggang yang semakin pendek sehinnga seseorng menyadari betapa pentingnya pemanfaatan waktu secaraoptimal. Dengan demikian kemungkinan untuk melakukan perbuatan menyimpang/kekerasan semakin rendah frekuensinya.
4) Beliefs atau percaya pada nilai-nilai moral
dari norma-normadan nilai-nilai pergaulan hidup. Perilaku menyimpang/kekerasan terhadap perempuan tidak akan terjadi jika seseorang dibentengi oleh nilai-nilai ritual, ibadah, nilai-nilai kepercayaan, dan norma yang mengikat bagi dirinya. Kepercayaan dan keyakinan yang kuat selanjutnya dapat di pompa kedalam perilaku yang tertata baik oleh nilai moral dan agama. Kecenderungan untuk melakukan kekerasan semakin kecil akibat tingginya keyakinan dan kuatnya kesadaran yang diyakini seseorang unuk dapat melakukan perbuatan yang menyimpang.
Berdasarkan asumsi diatas penulis setuju dengan teori kontrol sosial yang dikemukakan oleh Travis Hirschi ini. Asumsi Yang ditawarkan relevan dan argumentatif untuk mengurangi munculnya bentuk-bentuk perilaku kejahatan terhadap perempuan

Senin, November 21, 2011

Peranan Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

Peran dapat diartikan sebagai seperangkat tingkat yang diterapkan dimiliki oleh orang atau lembaga yang berkedudukan dalam masyarakat (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) .
Dalam kapasitasnya sebagai Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak, JPPA memiliki status artinya kedudukan JPPA menyebabkan adanya
hak-hak dan kewajiban. Hak merupakan wewenang untuk berbuat sedangkan kewajiban merupakan tugas yang harus dilaksanakan. Kedudukan merupakan posisi tertentu didalam struktur kemasyarakatan yang terbagi menjadi 3 tingkatan:
1. Yang mungkin tinggi
2. sedang-sedang saja, dan
3. rendah (Dari kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang berisi hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu, yang menimbulkan adanya peranan).
Peranan itu sendiri dibagi menjadi 4 yaitu:
1. Peranan yang ideal (ideal role)
2. Peranan yang seharusnya (expected role)
3. Peranan yang dianggap ole diri sendiri (perceived role)
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)
Bahwa peranan yang ideal dan seharusnya datang dari pihak-pihak lain, kedua peranan tersebut dapat berfungsi apabila seseorang berhubungan dengan pihak lain (role sector) dengan fokus utamanya adalah dinamika masyarakat. Sedangkan peranan yang sebenarnya berasal dari diri pribadi.
Penggunaan perspektif peranan mempunyai keuntungan diantaranya, lebih mudah membuat suatu proyeksi, karena pemusatan perhatian pada segi prosesual, serta lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya daripada kedudukan dengan lambang-lambang yang cenderung bersifat konsumtif.
Disini personel JPPA sebagai pemegang peranan (role occupant) melakukan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.. menggunakan peranan ideal dan peranan yang seharusnya.
Peranan ideal tercantum dalam Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia Nomor: B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender). Dimana secara tegas diharapkan bahwa dalam rangka melaksanakan Pengarus Utamaan Gender (PUG) perlu dilakukan berbagai upaya.
 tugas pokok JPPA yaitu:
1. Melakukan pengkajian dan analisa terhadap permasalahan yang berhubungan dengan upaya perlindungan perempuan dan anak
2. Merumuskan kegiatan JPPA
3. Melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan

Sabtu, November 12, 2011

DISIPLIN PNS BERDASARKAN UU NO. 43 TAHUN 1999

by sampriste
Pengawasan aparatur negara menuju kepada administrasi yang sempurna sangat tergantung pada kualitas dan profesionalisme pegawai negeri itu sendiri. Undang – Undang No. 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian memberikan jaminan kedudukan serta kepastian hukum bagi pegawai negeri untuk mengatur dan menyusun aparatur yang bersih dan berwibawa, (bebas KKN)..
Pembinaan dan penyempurnaan serta pendayagunaan aparatur pemerintahan, baik kelembagaan maupun ketatalaksanaan dari segi kepegawaian perlu terus ditingkatkan untuk mewujudkan pembangunan secara menyeluruh.
Hal tersebut juga telah digariskan dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara 1998 dalam Bab IV mengenai bidang Aparatur Negara disebutkan antara lain, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan pada peningkatan kualitas, efisien dan efektif dalam seluruh jajaran administrasi pemerintahan, termasuk peningkatan kedisiplinan pegawai negeri.
Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara dalam menjalankan roda pemerintahan dituntut untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat harus bisa menjunjung tinggi martabat dan citra kepegawaian demi kepentingan masyarakat dan negara.
Tetapi dalam kenyataan dilapangan masih banyak ditemukan pegawai negeri yang kurang tahu dan kurang menyadari akan tugas dan fungsinya sehingga seringkali timbul ketimpangan – ketimpangan  dalam menjalankan tugasnya dan tidak jarang membuat kecewa masyarakat.
Dengan adanya berbagai macam pelanggaran dan kedisiplinan pegawai tersebut, bagaimana pelaksanaan PP No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil .
Dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999  di Instansi - instansi pemerintahan maka  :
Pelaksanaan UU No.43 Tahun 1999 kaitannya dengan kedidiplinan Pegawai Negeri Sipil  merupakan masalah yang perlu di teliti serta  hambatan–hambatan yang timbul dalam meningkatkan kedidiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kejaksaan Negeri Semarang dan bagaimana cara mengatasinya.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, dapat diketahui bahwa pelaksanaan UU No. 43 Tahun 1999 di lingkungan instansi pemerintahan adalah dalam pelaksanaannya yang merupakan tindak lanjut dari UU No.43 Tahun 1999 .
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka pelaksanaan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan (instansi) pemerintahan, dilakukan dengan cara atau sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku yaitu lewat pengawasan melekat ( Waskat ).
Pengawasan melekat dilakukan agar tujuan dan sasaran kegiatan administrasi kepegawaian tercapai sebagaimana telah digariskan dalam Undang – Undang, dengan pengawasan melekat ini dapat pula mempengaruhi tingkat kedisiplinan atau kegiatan bekerja para Pegawai Negeri Sipil. Adapun hambatan – hambatan yang ada dalam pelaksanaan kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan (instansi) pemerintahan antara lain kurangnya sarana dan prasarana dalam pelaksanaan tugas, kurangnya pemahaman mengenai peraturan disiplin pegawai negeri serta kurangnya sanksi yang tegas dalam setiap pelanggaran.
Bagaimana komentar anda :.....

Kamis, November 10, 2011

Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA)

JPPA adalah singkatan dari Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak. JPPA merupakan wahana paritipatif, tempat tempat berhimpunnya mereka yang peduli dan para pemerhati permasalahan perempuan dan anak. Yang pengurusnya terdiri dari berbagai elemen baik pemerintah, Perguruan
Tinggi, Organisasi Wanita, LSM, maupun individu untuk bersama-sama mengkaji menganalisa permasalahan perempuan dan anak demi menegakkan panji-panji keadilan.
Terbentuknya JPPA  berdasarkan Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan republik Indonesia Nomor: B.110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, Perihal : Panduan Umum Focal Point dan Pokja PUG (Pengarus Utamaan gender). Dimana secara tegas diharapkan bahwa dalam rangka melaksanakan PengarusUtamaan Gender (PUG) perlu dilakukan berbagai upaya.

Tugas Pokok JPPA
Dalam menghadapi tantangan dan peluang jangka panjang yang jauh ke depan,
 visi program pembangunan pemberdayaan perempuan dirumuskan sebagai berikut:
Terwujudnya kesetaraan gender (dan perlindungan anak) dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Sedangkan visi Kelembagaan Pemberdayan Perempuan adalah:
Kesetaraan dan keadilan gender, kesejahteraan dan perlindungan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
Nomor B. 110/Mei/PP/Dep.III/2003, Tanggal 11 September 2003, tugas yang
harus dilakukan sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas hidup perempuan dan menggalakkan sosialisasi
kesetaraan dan keadilan gender.
2. Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan
menegakkan hak asasi manusia bagi perempuan.
3. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak.
4. Pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi.
5. Meningkatkan mental spiritual, pelaku hidup dengan dasar penghyatan dan
pengamalan Pancasila.
6. Meningkatkan kepedulian, kesadaran dan kepekaan masyarakat terhadap
Perlindungan Perempuan dan Anak, melalui pelayanan dan penyuluhan
hukum untuk memantapkan sistem perlindungan hukum bagi masyarakat
khususnya Perempuan dan Anak.
7. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya
Perempuan dan Anak dengan berbagai kegiatan pelatihan, penyuluhan dan
ketrampilan.
8. Meningkatkan kegiatan penelitian dan pendataan masalah yang dihadapi
dan potensi yang dimiliki Perempuan dan Anak, mengoptimalkan potensi
dan pemberdayaan Perempuan dan Anak Untuk mengatasi masalah
Perempuan dan Anak.

Kamis, November 03, 2011

by : sampristi 

Tugas-tugas Satuan Polisi Pamong Praja adalah membantu Kepala Daerah dalam:
  1. Menegakkan Peraturan Daerah.
  2. penyelenggaraan ketertiban umum.
  3. penyelenggaraan ketentraman masyarakat.
Pengertian ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sangat luas, substansinya tidak hanya dan tidak harus ada di dalam Peraturan Daerah tetapi juga ada di dalam Peraturan Perundang-undangan yang ada ditingkat yang lebih tinggi serta di berbagai bidang, dan itu juga menjadi tugas Kepala Daerah untuk menerapkan dan menegakkan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Cara pandang selama ini terhadap Razia gelandangan, pengemis dan anak jalanan memang perlu dirubah. Razia jangan selalu dikaitkan dengan penegakan ketentuan pidana di dalam Peraturan Daerah tetapi sebagai suatu tugas membantu Kepala Daerah menerapkan Peraturan Perundang-undangan dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, yang salah satunya adalah dengan mewujudkan kesejahteraan sosial melalui penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
Jadi sah-sah saja Satpol PP melakukan razia karena sebetulnya payung hukum sudah lengkap, sudah cukup. Pemerintah Daerah tidak perlu memaksakan diri untuk mengarahkannya kepada pelanggaran ketentuan pidana di dalam sebuah Peraturan Daerah sehingga harus mengangkat penyidik pegawai negeri sipil dan menciptakan kewenangan untuk penyidikan.
Harus diingat bahwa tidak semua pelanggaran Peraturan Daerah dapat disidik oleh penyidik pegawai negri sipil karena tidak semua pelanggaran Peraturan Daerah langsung mengarah kepada ketentuan pidana melainkan merupakan pelanggaran administratif saja.  Untuk menyelesaikan pelanggaran administratif tidak membutuhkan penyidik pegawai negri sipil dan hanya memerlukan petugas atau pegawai biasa. Setiap orang sebenarnya boleh menangkap seseorang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana dan menyerahkannya kepada polisi, jika demikian apalagi terhadap Satpol PP yang jelas diberi tugas oleh Undang-undang untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Penegakan ketentuan pidana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis merupakan ultimum remidium dan baru diterapkan setelah dilakukan tahapan seleksi yang merupakan tindak lanjut dari razia.  Penegakan ketentuan pidana ini sebaiknya berkoordinasi dengan polisi, dengan begitu kita mencoba mendudukkan kembali suatu perkara pada porsinya masing-masing. Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa porsi penyidikan tindak pidana diletakkan dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengkaitkan tugas razia dengan ketentuan pidana dan kewenangan penyidikan akan mempersulit Satpol PP sendiri. Polisi sebagai penegak hukum harus mau melaksanakan tugasnya dan dengan jujur mau mengakui bahwa masalah gelandangan dan pengemis merupakan tanggung jawabnya juga.
Berangkat dari kewenangan-kewenangan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Satpol PP tidak memerlukan Peraturan Daerah baru untuk melakukan razia terhadap Gelandangan dan Pengemis.  Yang harus kita pastikan adalah setelah razia dilakukan memang ada suatu upaya yang terpadu dan berkesinambungan untuk mengentaskan kemiskinan sebagai kewajiban Pemerintah Daerah dalam memenuhi hak asasi manusia di wilayahnya.  Karena itu sebelum razia besar-besaran dilaksanakan maka segala sarana dan prasarana, koordinasi, penguatan lembaga perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar upaya yang dimaksudkan untuk memenuhi hak asasi manusia tersebut menjadi sia-sia dan menimbulkan masalah baru.
Upaya paksa memang pasti akan terjadi, kejar-kejaran dengan aparat, dan sedikit kekerasan pasti akan terjadi. Hal tersebut tidak bisa dihindari dan harus dimaklumi, tetapi tentu ada batas-batas agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.  Tugas kita semua untuk ikut mengawasi agar tidak terjadi suatu tindakan berlebihan yang akan dilakukan oleh aparat.

Minggu, Oktober 30, 2011

Perlukah Perda Gelandangan dan Pengemis???


by sampriste
Sebagai provinsi yang mengedepankan pariwisata sebagai potensi unggulan, rupanya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi jengah dengan kehadiran gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang membuat kota menjadi terlihat kumuh. Pemerintah Daerah tentu khawatir jika citra kota pariwisata akan rusak dan para turis merasa tidak nyaman dengan kehadiran gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga menyurutkan niat mereka untuk berwisata kembali ke Tuban. 
Masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan ini rupanya cukup memusingkan Pemerintah Daerah sehingga mereka berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Jika dibiarkan kota menjadi kumuh tetapi bila ditangani akan mendapat tentangan dari banyak pihak yang mengatasnamakan pembela hak asasi manusia. Salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah dengan membuat rancangan peraturan daerah tentang penanggulangan gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Diharapkan, dengan ditetapkannya rancangan peraturan daerah tersebut maka masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan akan teratasi dan aparat pemerintah daerah mempunyai payung hukum untuk membersihkan jalan-jalan  dari gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah permasalahan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang identik dengan kemiskinan ini akan selesai melalui pembuatan regulasi yang baru (peraturan daerah)? Apakah peraturan perundang-undangan yang sudah ada masih kurang sehingga perlu dibuat peraturan baru? Apakah peraturan yang sudah ada sebenarnya sudah cukup tetapi belum dilaksanakan secara maksimal, baik itu sosialiasi atau pelaksanaan aturannya atau optimalisasi tugas pokok dan fungsi dari instansi-instansi yang membidangi dan yang terkait. Yang patut diwaspadai adalah jangan-jangan regulasi baru yang dibuat justru menimbulkan masalah karena cara penanganan masalah yang tidak tuntas dan hanya menitikberatkan kepada penegakan hukum (pidana) sehingga mengundang kritik tajam dari berbagai pihak pembela hak asasi manusia.
.  Bagi Pemerintah Daerah yang dibutuhkan adalah payung hukum untuk membersihkan jalan-jalan dari gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga tindakan mereka memenuhi legal formal, karena jika menggunakan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP maka perangkat daerah dalam hal ini Satpol PP tidak mempunyai kewenangan untuk merazia gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Sebuah pertanyaan lanjutan, jika Rancangan Peraturan Daerah tentang Gelandangan, pengemis dan anak jalanan ini ditetapkan, kemudian terjadi razia besar-besaran terhadap gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga mereka semua terkumpul dengan jumlah yang belum dapat dibayangkan, hendak diapakan mereka? 
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis sebenarnya sudah cukup memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam hal Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.  Tanggung jawab dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang sudah serta merta melekat menjadi urusan daerah tanpa harus dirumuskan kembali dalam sebuah peraturan daerah (kecuali jika memang diperintahkan oleh peraturan di atasnya) sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Mungkin saja peraturan daerah tersebut tidak dibutuhkan setelah koordinasi, sarana dan prasarana, tugas pokok dan fungsi setiap instansi Pemerintah Daerah dioptimalkan.
Masalah yang mungkin mengganjal bagi Pemerintah Daerah adalah gugatan dari aktivis pembela hak asasi manusia atau pihak-pihak lain adalah apa dasar hukum Satpol PP untuk merazia gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Secara runtut kita dapat melihat ketentuan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang bunyinya sebagai berikut:
Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Jadi sah-sah saja Satpol PP melakukan razia karena sebetulnya payung hukum sudah lengkap, sudah cukup. Pemerintah Daerah tidak perlu memaksakan diri untuk mengarahkannya kepada pelanggaran ketentuan pidana di dalam sebuah Peraturan Daerah sehingga harus mengangkat penyidik pegawai negeri sipil dan menciptakan kewenangan untuk penyidikan.
.  Karena itu sebelum razia besar-besaran dilaksanakan maka segala sarana dan prasarana, koordinasi, penguatan lembaga perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar upaya yang dimaksudkan untuk memenuhi hak asasi manusia tersebut menjadi sia-sia dan menimbulkan masalah baru.
Upaya paksa memang pasti akan terjadi, kejar-kejaran dengan aparat, dan sedikit kekerasan pasti akan terjadi. Hal tersebut tidak bisa dihindari dan harus dimaklumi, tetapi tentu ada batas-batas agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.  Tugas kita semua untuk ikut mengawasi agar tidak terjadi suatu tindakan berlebihan yang akan dilakukan oleh aparat.

Selasa, Oktober 18, 2011

URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

by : tassa design
Partisipasi publik atau partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Menurut Mahendra Putra Kurnia, titik tolak dari penyusunan suatu peraturan daerah adalah efektivitas dan evisiensinya pada masyarakat. Dengan kata lain, penarapan suatu peraturan daerah harus tepat guna dan berhasil guna, tidak mengatur golongan orang tetentu saja, dengan mengabaikan kepentingan golongan lain yang lebih banyak. Sehingga dalam proses penyusunannya, para pihak yang berkepentingan dan memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan yang hendak diambil harus dilibatkan. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Selanjutnya dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul Beginselen van de democratische rechsstaat, bahwa:
1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;
2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
3. Setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul;
4. Badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana (mede) beslissing-recht (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas;
5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;
6. Dihormatinya hak-hak kaum minoritas.
Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, 5 (lima) asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, 2 (dua) diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan. Senada dengan itu, Sri Soemantri mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam 5 (lima) hal, 2 (dua) diantaranya adalah pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan. Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas partisipasi masyarakat, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno:
“Paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui 2 (dua) sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan”.
Selanjutnya Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Miriam Budiardjo, yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dalam kepustakaan kebijakan publik di Belanda disebut inspraak atau partisipasi politik langsung. Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. Dikaitkan dengan pendapat Herbert Mc Closky, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan publik.
Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan masukan dan presepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest group), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut, untuk kemudian menuangkannya kedalam suatu konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan (stakeholder) untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang pasti dari berbagai faktor. Selain itu, partisipasi publik juga merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan. Menurut Sad Dian Utomo dalam Indra J. Piliang, manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan peraturan daerah adalah:
1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik;
2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik;
3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif;
4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk peraturan daerah, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan peraturan daerah, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan rancangan peraturan daerah.

Senin, Oktober 10, 2011

Pembunuhan dan pasal 338 KUHP

a. Pengertian Pembunuhan
Seperti diketahui bahwa pembunuhan, merupakan suatu kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Pembunuhan merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang tidak manusiawi dan atau suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, karena pembunuhan merupakan suatu tindak pidana terhadap nyawa orang lain tanpa mempunyai rasa kemanusiaan. Pembunuhan juga merupakan suatu perbuatan jahat yang dapat mengganggu keseimbangan hidup, keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang tercela, ataupun tidak patut.
Pengertian pembunuhan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah perkara membunuh ; perbuatan (hal dan sebagainya) membunuh.
Pembunuhan secara yuridis diatur dalam pasal 338 KUHP, yang mengatakan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja menhilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan kesengajaan, adalah apabila orang tersebut memang menghendaki perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat atau keadaan yang timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali oleh pelakunya.
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini, telah disebut “pembunuhan”. (Lamintang 1985:10).
b. Jenis-jenis Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan terhadap nyawa. Pembunuhan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya :
1) Pembunuhan biasa (“Doodslag”).
Pembunuhan biasa ini sebagaimana biasa diatur dalam pasal 338 KUHP, yang pada pokoknya berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena makar mati dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”
Menurut R.Soesilo, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beserta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, mengatakan bahwa :
a) Kejahatan ini dinamakan “makar mati” atau “pembunuhan” (doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja , artinya dimaksud , termasuk dalam niatnya.
b) Pembunuahan itu harus dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang. (Soesilo 1996: 240)
2) Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (“Moord”).
Kejahatan ini diatur dalam pasal 340 KUHP, yang pada pokok isinya adalah sebagai berikut :
”Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (“moord”), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Adapun yang menjadi unsur-unsur dari kejahatan yang direncanakan terlebih dahulu (“moord”) ialah :
a) Perbuatan dengan sengaja ;
b) Perbuatan tersebut harus dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu ;
c) Perbuatan tersebut dimaksud untuk menimbulkan matinya orang lain.
Maksud direncanakan di sini, adalah antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan itu, masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu dilaksanakan.
Dari kedua pasal tersebut, yaitu pasal 338 KUHP dan pasal 340 KUHP tersebut dapat ditarik kesimpulan , bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan, adalah perbuatan sengaja yang dilakukan orang terhadap orang lain dengan maksud untuk menghilangkan nyawa tersebut.

KABINET dari Soekarno - SBY

Era perjuangan kemerdekaan
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
1
21 orang
2
17 orang
3
25 orang
4
32 orang
5
34 orang
6
37 orang
7
17 orang
*
Ketua
12 orang
8
19 orang

Era demokrasi parlementer
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
*
17 orang
9
10 orang
10
15 orang
11
18 orang
12
20 orang
13
18 orang
14
20 orang
15
23 orang
16
25 orang
17
24 orang
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
18
33 orang
19
40 orang
20
60 orang
21
66 orang
22
110 orang
23
132 orang
24
79 orang
25
31 orang
26
Pjs Presiden
24 orang


Era Orde Baru
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
27
24 orang
28
24 orang
29
32 orang
30
42 orang
31
44 orang
32
43 orang
33
38 orang


Era reformasi
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
34
37 orang
35
36 orang
36
33 orang
37
37 orang
38
2014
38 orang

SwissOutpost.com