by sampriste
Sebagai provinsi yang mengedepankan pariwisata sebagai potensi unggulan, rupanya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi jengah dengan kehadiran gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang membuat kota menjadi terlihat kumuh. Pemerintah Daerah tentu khawatir jika citra kota pariwisata akan rusak dan para turis merasa tidak nyaman dengan kehadiran gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga menyurutkan niat mereka untuk berwisata kembali ke Tuban.
Masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan ini rupanya cukup memusingkan Pemerintah Daerah sehingga mereka berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Jika dibiarkan kota menjadi kumuh tetapi bila ditangani akan mendapat tentangan dari banyak pihak yang mengatasnamakan pembela hak asasi manusia. Salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah dengan membuat rancangan peraturan daerah tentang penanggulangan gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Diharapkan, dengan ditetapkannya rancangan peraturan daerah tersebut maka masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan akan teratasi dan aparat pemerintah daerah mempunyai payung hukum untuk membersihkan jalan-jalan dari gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah permasalahan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang identik dengan kemiskinan ini akan selesai melalui pembuatan regulasi yang baru (peraturan daerah)? Apakah peraturan perundang-undangan yang sudah ada masih kurang sehingga perlu dibuat peraturan baru? Apakah peraturan yang sudah ada sebenarnya sudah cukup tetapi belum dilaksanakan secara maksimal, baik itu sosialiasi atau pelaksanaan aturannya atau optimalisasi tugas pokok dan fungsi dari instansi-instansi yang membidangi dan yang terkait. Yang patut diwaspadai adalah jangan-jangan regulasi baru yang dibuat justru menimbulkan masalah karena cara penanganan masalah yang tidak tuntas dan hanya menitikberatkan kepada penegakan hukum (pidana) sehingga mengundang kritik tajam dari berbagai pihak pembela hak asasi manusia.
. Bagi Pemerintah Daerah yang dibutuhkan adalah payung hukum untuk membersihkan jalan-jalan dari gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga tindakan mereka memenuhi legal formal, karena jika menggunakan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP maka perangkat daerah dalam hal ini Satpol PP tidak mempunyai kewenangan untuk merazia gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Sebuah pertanyaan lanjutan, jika Rancangan Peraturan Daerah tentang Gelandangan, pengemis dan anak jalanan ini ditetapkan, kemudian terjadi razia besar-besaran terhadap gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga mereka semua terkumpul dengan jumlah yang belum dapat dibayangkan, hendak diapakan mereka?
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis sebenarnya sudah cukup memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam hal Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Tanggung jawab dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang sudah serta merta melekat menjadi urusan daerah tanpa harus dirumuskan kembali dalam sebuah peraturan daerah (kecuali jika memang diperintahkan oleh peraturan di atasnya) sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mungkin saja peraturan daerah tersebut tidak dibutuhkan setelah koordinasi, sarana dan prasarana, tugas pokok dan fungsi setiap instansi Pemerintah Daerah dioptimalkan.
Masalah yang mungkin mengganjal bagi Pemerintah Daerah adalah gugatan dari aktivis pembela hak asasi manusia atau pihak-pihak lain adalah apa dasar hukum Satpol PP untuk merazia gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Secara runtut kita dapat melihat ketentuan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang bunyinya sebagai berikut:
Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Jadi sah-sah saja Satpol PP melakukan razia karena sebetulnya payung hukum sudah lengkap, sudah cukup. Pemerintah Daerah tidak perlu memaksakan diri untuk mengarahkannya kepada pelanggaran ketentuan pidana di dalam sebuah Peraturan Daerah sehingga harus mengangkat penyidik pegawai negeri sipil dan menciptakan kewenangan untuk penyidikan.
. Karena itu sebelum razia besar-besaran dilaksanakan maka segala sarana dan prasarana, koordinasi, penguatan lembaga perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar upaya yang dimaksudkan untuk memenuhi hak asasi manusia tersebut menjadi sia-sia dan menimbulkan masalah baru.
Upaya paksa memang pasti akan terjadi, kejar-kejaran dengan aparat, dan sedikit kekerasan pasti akan terjadi. Hal tersebut tidak bisa dihindari dan harus dimaklumi, tetapi tentu ada batas-batas agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Tugas kita semua untuk ikut mengawasi agar tidak terjadi suatu tindakan berlebihan yang akan dilakukan oleh aparat.