Translate

Minggu, Oktober 30, 2011

Perlukah Perda Gelandangan dan Pengemis???


by sampriste
Sebagai provinsi yang mengedepankan pariwisata sebagai potensi unggulan, rupanya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi jengah dengan kehadiran gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang membuat kota menjadi terlihat kumuh. Pemerintah Daerah tentu khawatir jika citra kota pariwisata akan rusak dan para turis merasa tidak nyaman dengan kehadiran gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga menyurutkan niat mereka untuk berwisata kembali ke Tuban. 
Masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan ini rupanya cukup memusingkan Pemerintah Daerah sehingga mereka berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Jika dibiarkan kota menjadi kumuh tetapi bila ditangani akan mendapat tentangan dari banyak pihak yang mengatasnamakan pembela hak asasi manusia. Salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah dengan membuat rancangan peraturan daerah tentang penanggulangan gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Diharapkan, dengan ditetapkannya rancangan peraturan daerah tersebut maka masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan akan teratasi dan aparat pemerintah daerah mempunyai payung hukum untuk membersihkan jalan-jalan  dari gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah permasalahan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang identik dengan kemiskinan ini akan selesai melalui pembuatan regulasi yang baru (peraturan daerah)? Apakah peraturan perundang-undangan yang sudah ada masih kurang sehingga perlu dibuat peraturan baru? Apakah peraturan yang sudah ada sebenarnya sudah cukup tetapi belum dilaksanakan secara maksimal, baik itu sosialiasi atau pelaksanaan aturannya atau optimalisasi tugas pokok dan fungsi dari instansi-instansi yang membidangi dan yang terkait. Yang patut diwaspadai adalah jangan-jangan regulasi baru yang dibuat justru menimbulkan masalah karena cara penanganan masalah yang tidak tuntas dan hanya menitikberatkan kepada penegakan hukum (pidana) sehingga mengundang kritik tajam dari berbagai pihak pembela hak asasi manusia.
.  Bagi Pemerintah Daerah yang dibutuhkan adalah payung hukum untuk membersihkan jalan-jalan dari gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga tindakan mereka memenuhi legal formal, karena jika menggunakan Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP maka perangkat daerah dalam hal ini Satpol PP tidak mempunyai kewenangan untuk merazia gelandangan, pengemis dan anak jalanan.
Sebuah pertanyaan lanjutan, jika Rancangan Peraturan Daerah tentang Gelandangan, pengemis dan anak jalanan ini ditetapkan, kemudian terjadi razia besar-besaran terhadap gelandangan, pengemis dan anak jalanan sehingga mereka semua terkumpul dengan jumlah yang belum dapat dibayangkan, hendak diapakan mereka? 
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis sebenarnya sudah cukup memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dalam hal Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.  Tanggung jawab dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang sudah serta merta melekat menjadi urusan daerah tanpa harus dirumuskan kembali dalam sebuah peraturan daerah (kecuali jika memang diperintahkan oleh peraturan di atasnya) sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Mungkin saja peraturan daerah tersebut tidak dibutuhkan setelah koordinasi, sarana dan prasarana, tugas pokok dan fungsi setiap instansi Pemerintah Daerah dioptimalkan.
Masalah yang mungkin mengganjal bagi Pemerintah Daerah adalah gugatan dari aktivis pembela hak asasi manusia atau pihak-pihak lain adalah apa dasar hukum Satpol PP untuk merazia gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Secara runtut kita dapat melihat ketentuan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang bunyinya sebagai berikut:
Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Jadi sah-sah saja Satpol PP melakukan razia karena sebetulnya payung hukum sudah lengkap, sudah cukup. Pemerintah Daerah tidak perlu memaksakan diri untuk mengarahkannya kepada pelanggaran ketentuan pidana di dalam sebuah Peraturan Daerah sehingga harus mengangkat penyidik pegawai negeri sipil dan menciptakan kewenangan untuk penyidikan.
.  Karena itu sebelum razia besar-besaran dilaksanakan maka segala sarana dan prasarana, koordinasi, penguatan lembaga perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar upaya yang dimaksudkan untuk memenuhi hak asasi manusia tersebut menjadi sia-sia dan menimbulkan masalah baru.
Upaya paksa memang pasti akan terjadi, kejar-kejaran dengan aparat, dan sedikit kekerasan pasti akan terjadi. Hal tersebut tidak bisa dihindari dan harus dimaklumi, tetapi tentu ada batas-batas agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia.  Tugas kita semua untuk ikut mengawasi agar tidak terjadi suatu tindakan berlebihan yang akan dilakukan oleh aparat.

Selasa, Oktober 18, 2011

URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

by : tassa design
Partisipasi publik atau partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Menurut Mahendra Putra Kurnia, titik tolak dari penyusunan suatu peraturan daerah adalah efektivitas dan evisiensinya pada masyarakat. Dengan kata lain, penarapan suatu peraturan daerah harus tepat guna dan berhasil guna, tidak mengatur golongan orang tetentu saja, dengan mengabaikan kepentingan golongan lain yang lebih banyak. Sehingga dalam proses penyusunannya, para pihak yang berkepentingan dan memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan yang hendak diambil harus dilibatkan. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Selanjutnya dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul Beginselen van de democratische rechsstaat, bahwa:
1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan yang bebas dan rahasia;
2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
3. Setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul;
4. Badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui sarana (mede) beslissing-recht (hak untuk ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas;
5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang terbuka;
6. Dihormatinya hak-hak kaum minoritas.
Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, 5 (lima) asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, 2 (dua) diantaranya adalah asas pertanggungjawaban dan asas publik (openbaarheidsbeginsel), yang lainnya adalah asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas perwakilan. Senada dengan itu, Sri Soemantri mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam 5 (lima) hal, 2 (dua) diantaranya adalah pemerintah harus bersikap terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan penjabat yang dianggap merugikan. Tampak jelas bahwa dalam paham demokrasi terdapat asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas partisipasi masyarakat, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno:
“Paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui 2 (dua) sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau terpilih kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan”.
Selanjutnya Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam Miriam Budiardjo, yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Pengertian partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dalam kepustakaan kebijakan publik di Belanda disebut inspraak atau partisipasi politik langsung. Ciri terpenting dari partisipasi politik langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. Dikaitkan dengan pendapat Herbert Mc Closky, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan publik.
Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan masukan dan presepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest group), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut, untuk kemudian menuangkannya kedalam suatu konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan (stakeholder) untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang pasti dari berbagai faktor. Selain itu, partisipasi publik juga merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan. Menurut Sad Dian Utomo dalam Indra J. Piliang, manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan peraturan daerah adalah:
1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik;
2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik;
3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif;
4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
Dari penjelasan tersebut diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk peraturan daerah, terdapat hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan peraturan daerah, yakni memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan rancangan peraturan daerah.

Senin, Oktober 10, 2011

Pembunuhan dan pasal 338 KUHP

a. Pengertian Pembunuhan
Seperti diketahui bahwa pembunuhan, merupakan suatu kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Pembunuhan merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang tidak manusiawi dan atau suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, karena pembunuhan merupakan suatu tindak pidana terhadap nyawa orang lain tanpa mempunyai rasa kemanusiaan. Pembunuhan juga merupakan suatu perbuatan jahat yang dapat mengganggu keseimbangan hidup, keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang tercela, ataupun tidak patut.
Pengertian pembunuhan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah perkara membunuh ; perbuatan (hal dan sebagainya) membunuh.
Pembunuhan secara yuridis diatur dalam pasal 338 KUHP, yang mengatakan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja menhilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan kesengajaan, adalah apabila orang tersebut memang menghendaki perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat atau keadaan yang timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali oleh pelakunya.
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku dewasa ini, telah disebut “pembunuhan”. (Lamintang 1985:10).
b. Jenis-jenis Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan terhadap nyawa. Pembunuhan terdiri dari beberapa jenis, diantaranya :
1) Pembunuhan biasa (“Doodslag”).
Pembunuhan biasa ini sebagaimana biasa diatur dalam pasal 338 KUHP, yang pada pokoknya berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena makar mati dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun”
Menurut R.Soesilo, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beserta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, mengatakan bahwa :
a) Kejahatan ini dinamakan “makar mati” atau “pembunuhan” (doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja , artinya dimaksud , termasuk dalam niatnya.
b) Pembunuahan itu harus dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang. (Soesilo 1996: 240)
2) Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (“Moord”).
Kejahatan ini diatur dalam pasal 340 KUHP, yang pada pokok isinya adalah sebagai berikut :
”Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (“moord”), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Adapun yang menjadi unsur-unsur dari kejahatan yang direncanakan terlebih dahulu (“moord”) ialah :
a) Perbuatan dengan sengaja ;
b) Perbuatan tersebut harus dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu ;
c) Perbuatan tersebut dimaksud untuk menimbulkan matinya orang lain.
Maksud direncanakan di sini, adalah antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan itu, masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu dilaksanakan.
Dari kedua pasal tersebut, yaitu pasal 338 KUHP dan pasal 340 KUHP tersebut dapat ditarik kesimpulan , bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan, adalah perbuatan sengaja yang dilakukan orang terhadap orang lain dengan maksud untuk menghilangkan nyawa tersebut.

KABINET dari Soekarno - SBY

Era perjuangan kemerdekaan
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
1
21 orang
2
17 orang
3
25 orang
4
32 orang
5
34 orang
6
37 orang
7
17 orang
*
Ketua
12 orang
8
19 orang

Era demokrasi parlementer
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
*
17 orang
9
10 orang
10
15 orang
11
18 orang
12
20 orang
13
18 orang
14
20 orang
15
23 orang
16
25 orang
17
24 orang
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
18
33 orang
19
40 orang
20
60 orang
21
66 orang
22
110 orang
23
132 orang
24
79 orang
25
31 orang
26
Pjs Presiden
24 orang


Era Orde Baru
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
27
24 orang
28
24 orang
29
32 orang
30
42 orang
31
44 orang
32
43 orang
33
38 orang


Era reformasi
No
Nama Kabinet
Awal masa kerja
Akhir masa kerja
Pimpinan Kabinet
Jabatan
Jumlah personel
34
37 orang
35
36 orang
36
33 orang
37
37 orang
38
2014
38 orang

SwissOutpost.com